Bahaya, Tanpa Kajian Lapindo Dijadikan Kawasan Wisata Geopark

62
Bambang Haryo Soekartono saat lihat langsung kondisi di area sumur lumpur Lapindo Sudoarjo, Selasa (2/6/2020).

SIDOARJO – Bakal Calon Bupati (Bacabup) Sidoarjo Bambang Haryo Soekartono (BHS) merasa keberatan area semburan Lumpur Sidoarjo dijadikan kawasan wisata Geopark (Taman Geologi). Alasan utamanya, lantaran hingga saat ini belum ada hasil kajian dibawah permukaan tanah seluruh wilayah peta terdampak.

Selain itu, bencana lumpur itu juga belum selesai dan bahkan luas peta terdampak sudah mencapai 1300 hektar dari 640 hektar sebelumnya. Selain diperkirakan usia semburan bisa mencapai 30 tahun menurut riset ahli dari Australi dan Rusia, juga masih adanya 2 Sesar (patahan) yaitu patahan Watukosek dan Sesar Siring yang bertemu di pusat semburan lumpur itu. Kondisi itu jelas sangat membahayakan, sebelum di lakukan kajian secara cermat.

“Saya sangat keberatan jika area bencana ini dijadikan kawasan wisata Geopark di atas wilayah peta terdampak. Bila bencana ini belum selesai, Jangan mencampuradukkan wisata dengan bencana, yang tentu sangat besar resikonya. Lagipula setiap tahun penambahan semburan masih luar biasa besar. Belum lagi soal penurunan tanah di wilayah sekeliling peta terdampak, yang setiap bulan mengalami penurunan 30cm atau 3m dalam 10 tahun. Seharusnya kita harus mengutamakan penanganan masalah bencana demi keselamatan rakyat Sidoarjo dulu. Apalagi, masih banyak tempat wisata lain di Sidoarjo yang bisa dieksplore (dikembangkan),” terang Bambang Haryo, Selasa (02/06/2020).

Baca Juga  23 Tahun JLS Jatim Tak Rampung, LaNyalla Berharap Jadi Prioritas Kepala Daerah Mendatang  

Saat ini, lanjut Bambang Haryo pusat semburan lumpur ini masih perlu diwaspadai. Apalagi material semburannya masih fluktuatif mencapai 60.000 sampai 100.000 meter kubik per hari. Karenanya Pusat Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (PPLS) masih tetap menanggulanginya dengan cara menyalurkan air dan terus menerus meninggikan dan mempertebal tanggul agar tidak sampai jebol. Bahkan ketinggian tanggul saat ini mencapai di atas 12 meter dengan lebar 15 meter.

“Sekarang semburan lumpur yang keluar agak berkurang, tapi airnya semakin deras. Antisipasinya adalah bagaimana tanggul tahan terhadap air karena sebelumnya tanggul hanya untuk penahan lumpur,” imbuhnya.

Karena itu, kata anggota DPR RI periode 2014 – 2019 ini, masih dibutuhkan perencanaan penanggulangan bencana berupa perencanaan kontijensi (contingency plan) untuk penanganan darurat jika terjadi bencana. Bahkan dibutuhkan perencanaan yang baik seperti mitigasi bencana sekaligus informasi publik dan sosialisasi ke masyarakat sebagai upaya antisipasinya. Dan setelah itu menyediakan alarm atau Early Warning System (EWS) untuk masyarakat di wilayah luar pera terdampak, yang jumlah penduduknya sangat padat. Pengadaan EWS itu tugas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) karena semburan lumpur masuk bencana nasional.

Baca Juga  Korwil UPT Ditjen Hubla Jawa Timur Bersama KUPP Kelas III Sapudi Kawal Arus balik Santri Sapudi

“Karena itu BNPB harus ada disini bersama tim SAR (badan rescue) guna menyelamatkan dan menolong masyarakat jika terjadi bencana. Bila saya diamanati jadi Bupati Sidoarjo saya mendesak pemerintah pusat merealisasikan semua itu. Termasuk sosialisasi dan evakuasi warga yang dasarnya adalah ketepatan waktu (respon time) harus terukur dan terencana, Kalau sampai terlambat masyarakat yang akan kena dampaknya. Karena pertemuan Sesar Watukosek dan Sesar Siring mudah bergeser kalau ada gerakan sesar induk saat ada bencana gempa,” tegasnya.

Selain itu, Bambang Haryo merencanakan jika dirinya diamanahi menjadi Bupati Sidoarjo, bakal menginisisasi mengasuransikan semua rumah dan tanah serta aset lainnya pada
potensi peta terdampak dan wilayah berpotensi terdampak. Hal ini agar jika terjadi musibah bencana, masyarakat masih bisa tetap tenang dan tidak panik kehilangan asetnya. Bahkan tidak perlu lagi menyalahkan dan menuntut kesana kemari agar bisa mendapatkan ganti rugi akan kehilangan aset mereka.

“Soal kajian dibawah permukaan lumpur yang membutuhkan anggaran sekitar Rp 54 miliar, menurut Bambang Haryo itu jumlah yang relatif kecil di banding keselamatan nyawa publik di sekitar itu. Kalau pemerintah pusat tidak mau menganggarkan, Sidoarjo harus siap mengangarkan untuk mengetahui hasil kajian kondisi dibawa permukaan tanah itu. Saya akan memprioritaskan hal itu,” paparnya.

Baca Juga  Pastikan Kelancaran Arus Balik, Jasa Raharja, Kemenko PMK, Kemenhub, dan Korlantas Polri Tinjau Pelabuhan Panjang dan Bakauheni

Sementara Kabag TU PPLS, Derry Stya Mandhala yang di dampingi staff ahli menegaskan kajian dibawah permukaan itu penting sebagai jaminan keselamatan warga sekaligus mengetahui kondisi dibawah permukaan itu. Pihaknya sudah merencanakan dan menghitung anggaran yang dibutuhka untuk kajian itu. Bahkan penganggarannya sudah masuk quality control dan supervisi.

“Tapi masalahnya kami tidak punya kewenangan menangani masalah dibawah permukaan. Itu masuk domain ESDM. Kalau tahu kondisi dibawah permukaan maka akan diketahui semua untuk bisa merencanaan pemanfaatan lumpur,” tandasnya. (Rud/Bam)

Titikomapost.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE