GAPASDAP MINTA MORATORIUM PERIJINAN KAPAL
SURABAYA – Kejadian kecelakaan di bidang transportasi angkutan penyeberangan dua bulan terakhir ini begitu memprihatinkan, kita tidak ingin kejadian ini akan terjadi terus berulang makanya harus ada kepedulian terhadap keselamatan transportasi. Untuk itu, Gapasdap melalui rapat kerja nasional (Rakernas) ke II di Lombok Barat ingin memberikan semacam Safety Awareness Campaign kepada semua pihak.
“Artinya harus ada kepedulian terhadap keselamatan transportasi karena hal itu tidak hanya tanggung jawab kami saja sebagai operator,” ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap), Khoiri Soetomo, Selasa (31/7/2018).
Menurut Khoiri, tanggung jawab keselamatan transportasi angkutan sungai, danau dan penyeberangan bukan saja pada pihak operator yang diberi tanggung jawab tapi kami itu nomor dua, yang pertama ada pemerintah selaku regulator sebagai pembuat peraturan, regulasi, mengawasi, mengontrol bahkan memberi phunishment kepada operator dan yang tak kala pentingnya yaitu ketiga ada masyarakat sebagai konsumen atau penggunajasa.
“Regulator sebagai pemangku kepentingan utama tentu harus hadir secara riil seperti kasus di danau Toba, ada kekosongan dimana ukuran kapalnya bervariasi antara GT 7 sampai lebih yang harusnya ada dispute antara kewenangan pusat dan daerah terkait standart yang itu bisa kita lihat secara langsung,” jelasnya.
Menurut Khoiri, ada hal yang kurang pas dalam penanganan permasalahan yang dihadapi angkutan penyeberangan kita, dimana tak jarang kebijakan pemerintah justru berdampak negatif atas kelangsungan moda transportasi massal ini.
“Kami berharap agar pemerintah didalam memberikan ijin, baik ijin prinsip maupun ijin operasional kepada para pengusaha itu tidak cukup hanya ada investor punya uang beli kapal terus diberikan ijin, itu harus seperti bila ‘anak kita akan akan dipinang orang maka kita selektif,” katanya.
Bila kita melirik di pesawat, lanjut Khoiri, penerbangan bisa bagus karena tidak saja Airlinenya yang bagus tapi memang pihak Angkasa Pura selaku penyedia airportnya juga sangat steril.
“Tanpa airport, tanpa aviation security yang memadahi maka orang dengan sangat mudah membawa barang-barang dilarang dan berbahaya,” ungkapnya.
Untuk itu, Khoiri berharap, kedepan pelabuhan penyeberangan pun bisa lebih baik karena terkait dengan sama-sama nyawa manusia yang tidak ternilai harganya juga diberlkaukan sama seperti yang ada di penerbangan. Hal itu tak terlepas dari keberadaan stakeholder lain seperti fasilitator, bagaimana pelabuhan itu harus steril.
“Namun tidak hanya angkutan penyeberangan resmi seperti di Merak-Bakauheni, kalau aturan itu tidak equally maka berbahaya, kita menerapkan standart tinggi, kemudian di tempat lain tidak, otomatis orang akan akan memilih ke tempat lain misalnya Bojanegara-Bakauheni dimana letaknya yang berimpitan,” aggannya.
Khoiri juga menambahkan, target gapasdap, apa yang menjadi harapan kita itu harus segera terealisasi karena kondisinya sudah terlalu lama dan memprihatinkan, kadang-kadang dari stakeholder tidak menyadari bahwa ini membahayakan, jadi jangan dikira keselamatan transportasi pelayaran itu hanya bicara masalah life jacket, pelampung RLB, liferatfs maupun sekoci saja tapi lebih menyeluruh.
“Ditambah lagi prilaku dari penumpang yang naik kapal dia tidak tertib dengan membawa barang berbahaya atau masih membawa muatan yang melebihi kapasitas berat maupun dimensinya itu kan sangat berbahaya sekali regulator harus tanggap demi keselamatan,” imbuhnya.
Paling tidak, kita berupaya paling lama dalam waktu tiga bulan pemerintah sudah harus menyelesaikan dan harus sudah mulai membenahi khususnya di 5 pelabuhan penyeberangan utama yaitu, Merak-Bakauheni, Ketapang-Gilimanuk, Padangbai-Lenbar, Bajoe-Kolaka dan Tanu ini sudah over supley.
“Pemerintah agar segera menerapkan moratorium kepada perijinan, Segera mencabut pasal peralihan 60 PM 104/2017 yang memberikan ijin keleluasaan investor yang masih dalam pengurusan ijin sehingga berdampak pada aset bangsa yang sudah bertahun-tahun berfungsi berguguran satu-persatu,” tegas Khoiri.
Disamping itu, demi keselamatan transportasi, demi sustainability angkutan penyeberangan kami akan bersikap, tentu kami mendahulukan komunikasi yang baik tapi kami masih optimis dengan dirjen Hubdat yang komitmen membuka diri.
“Bukan hanya bersurat, menentukan sikap kami pun sudah menyampaikan kepada dewan untuk dilakukan hearing,” ungkap Khoiri.
Sementara itu, Anggota komisi V DPR RI, Bambang Haryo Soekartono mengaku, telah menerima keluhan pengurus Gapasdap terkait peliknya persoalan yang dihadapi hingga saat ini. Dia melihat, ada beberapa problematika yang segera harus disikapi demi kelangsungan transportasi massal tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Kita semua tahu bahwa Ferry ini moda transportasi yang tidak tergantikan dengan transportasi lainya, jadi transportasi ini sangat vital dan harus diketahui oleh semua pihak baik masyarakat, pemerintah maupun para wakil rakyatnya.
“Untuk itu, sebentar lagi akan kita undang untuk bertemu dewan, mungkin setelah masa reses sekitar dua minggu lagi kita harapkan dilakukan audiensi,” tuturnya.
“Kami juga akan memanggil KNKT untuk melakukan hal yang serupa audensi,” tambahnya.
Bambang berfikir, untuk masalah Gapasdap sangat perlu dilakukan audensi dengan dewan agar seluruh anggota DPR mengerti tentang peran daripada angkutan penyeberangan ini. Jadi dengan adanya kejadian yang kemarin itu baru kita tahu ternyata Gapasdap tidak hanya pada angkutan penyeberangan saja tapi lebih luas.
“Ada angkutan danau yang lebih dari seribuan jumlahnya ini belum tersentuh dan juga ribuan sungai dimana sekitar 150 ribu kapal rakyat yang melalui sungai ini juga belum tersentuh,” katanya.
Anggota dewan yang juga pengusaha salah satu Hotel di Lombok barat itu menegaskan, saya akan fokus pada angkutan penyeberangan saja yang ruang lingkupnya lebih kecil, lebih sempit tapi ini mempunyai dampak yang luar biasa karena transportasi ini tidak hanya yang tergantikan tetapi merupakan transportasi massal yang diangkut dalam jumlah besar baik penumpang maupun barang.
“Ini yang luar biasa dari transportasi yang tidak mengenal waktu yang secara reguler tepat waktu, jam berapa saja selama 24 jam. Tidak ada moda transportasi yang sehebat angkutan penyeberangan ini,” seru Bambang.
Pemerintah dan DPR harus tahu hingga tidak meremehkan, dan iklim-iklim yang kondusif itu harus terealisasikan dengan baik. Hal ini yang harus diperjuangkan Gapasdap agar tetap eksis tetap hidup.
“Kalau tidak, siapa yang sanggup berenang dari Mataram menuju ke Bali tentu tidak ada yang bisa. Jangankan Mataram-Bali, Ujung-Kamal aja berat, jadi kalau tidak ada penyeberangan tidak akan bisa jalan,” tegas Bambang.
Menurut Bambang, ini bukti kalau Angkutan ini yang paling nyata berperan sebagai Tol Laut yang dikatakan sama bapak Presiden Jokowi. Sebenarnya buat apa ada tol laut bila angkutan penyeberangan bisa berfungsi sama seperti apa maksud dan tujuan dibuatnya tol laut itu, bahkan tak jarang kapalnya tidak bisa penuhi barang muatannya dan ditambah lagi barangnya dijual di mekanisme pasar.
“Tapi kalau angkutan penyeberangan ini sudah riil dan teruji sejak puluhan tahun berperan sebagai jembatan penghubungan masyarakat dan manfaatnya telah dirasakan. Mungkin sekarang sudah lebih dari 200 ribu kapal ferry yang beroperasi sebagai sabuk nusantara dan masih banyak lagi daerah-daerah di tanah air ini yang membutuhkan keberadaannya hanya saja butuh satu iklim yang kondusif,” paparnya.
Namun sayang, Bambang melihat, keselamatan dari pelayaran ferry ini regulasinya tumpang tindih atau bisa dibilang highly regulated yang dapat menimbulkan high cost. Per 1 unit kapal satu tahunya bisa 100 juta untuk mengakomudir permasalahan yang berhubungan dengan keselamatan bahkan bisa lebih hanya khusus untuk sertifikasi, bayangkan….
“Problematika angkutan Ferry begitu banyak berkaitan dengan iklim usaha yang tidak kondusif. Cuma kenapa pengusaha masih mau masuk di dalam bisnis ini padahal kalau diteruskan, angkutan ferry ini akan jadi makin tidak kondusif,” ingatnya.
Iklam yang tidak kondusif ini tentu yang terkait dengan kebijakan dan pendapatan (kaitanya dengan tarif dan trip) dimana terjadi penurunan, terbukti tari kita adalah tarif terendah di Asia Tenggara dimana di Indonesia Rp 661 ribu di Philipine bisa mencapai 1700 ribu ditambah lagi jumlah trip kapal semakin lama semakin berkurang dengan adanya penambahan kapal. Hal ini yang perlu disikapi oleh pemerintah karena banyaknya kapal tripnya semakin berkurang otomatis pendapatan berkurang, tentu tidak bisa mengakomudir permasalahan yang berhubungan dengan standarisasi kenyamanan.
“Belum lagi masalah bunga bank, pajak. Bagaimana kita akan bicara keselamatan pelayaran kalau kapal alami kerugian dalam operasinya,” ucapnya.
Sehingga problematikanya bisa digaris bawahi beberapa kebijakan pemerintah yang harus ditinjau kembali diantaranya;
Peraturan Menhub PM 88 tahun 2014 terkait ada aturan kewajiban kapal
yang beroperasi di lintas penyeberangan Merak-Bakauheni ber GT 5000
keatas yang pada kenyataannya pada di lintasan sana itu rata-rata berada
di waktu Low Season bukan Peak Season mungkin 70 persen di bawah
kapasitas.
“Ini hanya berarti diperlukan kapal yang berukuran kecil namun jika peak season baru dibutuhkan kapal yang besar toh jumlah kapal besar dari 70 unit 27 unit kapal kecil. Disini perlunya bagaimana PT. ASDP mengaturnya agar kapal besar pada saat peak season bisa jalan dan low season kapal kecil bisa jalan,” urai Bambang.
Anggota dewan wakil dari masyarakat dapil Suarabay-Sidoarjo itu juga mengingatkan, kita tahu kapal ferry itu menggunakan bahan bakar subsidi, jadi pasti dewan akan berteriak karena subsidi itu harus betul-betul dipergunakan untuk kepentingan rakyat yang bener efisien bukan dibuang-buang. Bagaimana pada saat kapal itu off yang tetap menggunakan BBM subsidi yang notabene mesin kelistrikan harus tetap jalan. Jadi offnya kapal bukan kesalahan pengusaha tapi dia harus bisa menjamin ketersedian kapal sewaktu-waktu bila dibutuhkan.
“Ini juga menjadi problem, bagaimana dengan kapal-kapal yang digantikan dengan ukuran yang lebih besar, akan ditempatkan dimana..,” tanyanya.
Bambang yakin, justru dengan menambah satu pasang dermaga lebih efisien dibanding pengadaan, padahal satu unit kapal diatas 5000 GT biaya pengadaannya bisa digunakan membagun 2 dermaga kalau tampa trestel.
“Apalagi dermaga kalau menggunakan beton bisa lebih murah lagi. Jadi itu tugas ASDP bersama pemerintah untuk merealisasikan dermaga itu, karena kapasitas angkut bisa jadi dua kali lipat kita mengganti kapal,” cetusnya.
Selain itu, Bambang melalui komisi V juga akan mendesak peraturan Menhub PM 27 tahun 2016 tentang pengaturan dan pengendalian kendaraan yang menggunakan jasa angkutan penyeberangan agar segera dilaksanakan serta diperlukan juga suatu jembatan timbang di semua lintas komersial yang ada syukur-syukur juga di seluruh lintasan di Indonesia karena masih banyaknya kendaraan yang OVERDIMENSI dan OVERLOAD serta jenis muatan yang diangkut.
“Serta PM 104 tahun 2017 revisi dari PM 80 tahun 2015 tentang penyelenggaraan angkutan penyeberangan. Dengan adanya tarif rendah yang tidak bisa menghidupi kapal maka jikalau terjadi kecelakaan maka justru yang lebih bertanggung jawab sebenarnya adalah pembuat kebijakan itu sendiri bukannya sedikit-sedikit yang dituding operator,” pungkasnya. (RG)